Sejarah sepak bola di Indonesia
Bagian 1 dari 6
JAKARTA, Indonesia — Tiga puluh lima ribu suporter berbondong menuju Jakarta dari Malang. Jarak 700-an kilometer dari Kota Apel ke ibu kota bukan halangan bagi Aremania untuk menyaksikan langsung Arema Cronus berlaga di Stadion Gelora Bung Karno (GBK), Senayan.
Pendukung Persib Bandung pun demikian. 40 ribu lebih Bobotoh konvoi ke Jakarta, tak gentar meski harus bertandang ke kandang Persija Jakarta, saingan terbesar mereka. Penggemar kedua klub ini memadati laga final Piala Bhayangkara di Stadion GBK, pada 3 April 2016.
Andai dulu bukan Belanda yang menjajah Indonesia, andai dulu sepak bola hanya dimainkan di lapangan rumput, apa yang terlihat di final Piala Bhayangkara — sebuah turnamen pendek tapi mampu membuat penggila bola memadati SUGBK — tak akan terjadi.
Tulisan ini menceritakan betapa sepak bola seakan jadi “agama” baru di Indonesia. Menonton sepak bola adalah sebuah kewajiban, ibarat ibadah yang tak boleh ditinggalkan. Stadion menjadi tempat yang sakral yang wajib dipertahankan melalui yel-yel, dukungan, dan teriakan fanatisme saat pertandingan.
Sepak bola di Indonesia, awalnya hanya sebuah alat kesenangan, namun mampu membentuk komunitas dan menjadi alat perjuangan di masa pra-kemerdekaan. Kemudian menjadi olahraga yang dicintai pasca kemerdekaan, hingga sekarang, meskipun kering prestasi di level internasional.
Siapa yang memperkenalkan sepak bola ke Indonesia?
Besarnya sepak bola di Indonesia tak bisa dilepaskan dari kedatangan Belanda ke negeri ini. Dari awalnya hanya permainan kaum kolonial, kemudian dimainkan oleh kaum Tionghoa dan pribumi.
Sepak bola menjadi simbol tumbuhnya Jong-jong (perhimpunan pemuda) daerah yang berjuang mencapai kemerdekaan melalui si kulat bundar. Bukan untuk berperang, tapi sebagai alat persatuan para pemuda saat itu. Pasca kemerdekaan, sepak bola menjadi alat perdebatan; apakah ia digunakan sebagai pelekat persatuan dan kesatuan, atau justru menjadi alat perpecahan dengan lahirnya kelompok suporter yang bermusuhan satu sama lain.
Menurut sejarawan dari Universitas Negeri Surabaya, Rojil Nugroho Bayu Aji, masuknya sepak bola ke Indonesia karena ideologi kolonial, yakni gagasan bahwa dengan mencontoh orang Eropa, pribumi akan menyerupai dan berasimilasi dengan mereka.
”Anda tinggal membuat gawang, tak perlu tiang, cukup kasih tanda dengan mengukur jarak besarnya gawang menggunakan kaki. Kemudian mencari sesuatu yang menyerupai bola — bola plastik bisa atau bahkan gulungan tas plastik yang dibuat menyerupai bola.”
“Proses awal masuknya sepak bola di Indonesia tidak bisa kita lepaskan dari proses kolonialisasi oleh pemerintah Belanda di Indonesia. Dalam proses kolonialisasi tersebut, terjadi persilangan budaya antara orang Eropa dengan orang-orang yang ada di Hinda Belanda, terutama orang Tionghoa dan Bumiputera,” kata Rojil.
Sepak bola memang berasal dari Inggris dan disebarkan melalui praktik kolonial di daratan Eropa, Amerika, Afrika, dan Asia. Sepak bola masuk ke Indonesia (waktu itu Hindia Belanda) tidak bisa terlepas dari kolonialisme yang dipraktekkan oleh Belanda. Transformasi keilmuan dan budaya membuat Indonesia dipaksa untuk mengakomodasi kepentingan Belanda.
"Proses seperti inilah yang mengantarkan masuknya persilangan Belanda mentransformasikan sepak bola di Hindia Belanda," kata Rojil.
Persebaran sepak bola ke kota-kota besar, menurut Rojil, juga turut andil diterima oleh masyarakat Tionghoa dan masyarakat Bumiputera. Proses ini melahirkan sebuah transformasi yang seakan-akan menjadikan sepak bola diterima oleh sebagian golongan serta kalangan masyarakat yang ada di Hindia Belanda.
Sepak bola mendapat perhatian oleh masyarakat, sehingga olahraga ini sangat cepat penyebarannya. Rojil menilai, sejalan dengan dibukanya ranah pendidikan, pencerahan untuk mencapai taraf pendidikan yang baik menyebabkan kesadaran bagi kalangan masyarakat di Hindia Belanda untuk berorganisasi dan juga mempersatukan idealisme revolusioner yang nantinya disebarkan kepada masyarakat luas.
Setelah politik etis berjalan dan disambut dengan tumbuhnya organisasi serta semangat perjuangan, maka tumbuh sebuah gerakan untuk mewujudkannya melalui wadah organisasi, baik dalam hal politik maupun olahraga.
Sumber: http://www.rappler.com/
Komentar
Posting Komentar